Rabu, 22 Januari 2014

INDAHNYA KE(tidak)SEMPURNAAN

INDAHNYA KE(tidak)SEMPURNAAN

            Setiap kali aku melewati jalanan itu, aku selalu teringat dengan adek-adek yang biasa bermain denganku. Mereka yang setiap hari mencari rupiah dengan melantunkan lagu-lagu sederhananya di jalanan. Mereka masih kecil, korban trafficking orang tua mereka yang tidak sungkan menyuruh anaknya bekerja di jalanan. Panas terik, bahaya ditabrak kendaraan bermotor, tidak apalah bagi mereka yang penting rupiah bisa terkumpul untuk diberikan kepada orang tua mereka. Seminggu sekali aku pergi mengunjungi mereka. Bukan untuk menyuarakan propaganda tentang dunia ‘normal’ tentang anak-anak yang bersekolah formal. Aku di sana untuk bermain bersama mereka. Mendengarkan kisah-kisah mereka. Mendengarkan suara-suara lirih mereka yang tak terdengar, yang kadang dianggap ‘sampah’ oleh masyarakat.

            Dari situ aku lebih mengenal negeri ini. Negeri yang katanya kaya. Ya kaya akan air mata dari orang-orang yang tertindas. Negeri yang katanya melimpah sumber daya alamnya, yang sampai-sampai mengundang asing untuk menggerogotinya. Negeri yang subur tanahnya untuk ditanam palawija, sampai-sampai banyak bayi yang busung lapar lantaran hanya makan singkong dan karbohidrat tanpa gizi lainnya. Miris rasanya melihat kondisi bangsa dan negaraku yang seperti ini. Ingin nangis setiap kali aku melihat masih ada orang-orang yang tidur di jalanan beralaskan kardus. Melihat anak-anak yang mengamen, padahal ia harusnya sedang mengenyam pendidikan di sekolah. Ingin keluar air mata ini saat melihat masih ada kakek nenek yang tua renta masih harus bekerja demi sesuap nasi. Ya, itulah negeriku. Negeri yang memeberiku ruang untuk mencintainya. Cinta yang tulus bukanlah mencintai apa yang terlihat bagus, yang sempurna saja. Tapi mencintai suatu ketidaksempurnaan. Saling melengkapi.

            Guruku pernah berkata, “Jangan bertanya apa yang telah diberikan negara untukmu, tapi tanyalah apa yang telah kau berikan untuk negaramu.” Ya, yang diberi oleh negaraku bukanlah suatu kesempurnaan. Tapi ketidaksempurnaan inilah yang mendorongku untuk mencintainya. Karena dengan masih kurang disana-sini memberikanku ruang untuk melengkapi kekurangannya dengan apa yang aku punya.

            Aku ingin melengkapi puzzle-puzzle di Indonesiaku ini dengan memberantas kebodohan dan kemiskinan. Terlalu muluk memang sepertinya. Tapi pencapaian yang luar biasa besar berasal dari melakukan hal-hal kecil yang konsisten. Untuk memberantas kebodohan mungkin aku sudah sedikit melakukan aksi. Sewaktu SMA setiap hari sabtu aku mengunjungi anak-anak jalanan. Di sana, aku dan teman-teman mengajari mereka tentang pelajaran seperti matematika, bahasa inggris, ataupun pelajaran lain. Tetapi di samping akademis kami juga membantu mereka dari segi psikologis. Sering kami sharing bersama, memberi motivasi, ataupun sekedar bergurau dengan mereka. Intinya kami ingin menunjukkan bahwa di luar sana masih ada masyarakat yang peduli dan mau turun langsung untuk permasalahan anak jalanan.

            Sedangkan untuk memberantas kemiskinan mungkin aku belum melakukan aksi yang signifikan. Akan tetapi menurutku kemiskinan merupakan integrasi dari kebodohan. Jika aksi untuk kebodohan sudah dilakukan mungkin bisa dipanen hasilnya 5 atau 10 tahun kedepan saat anak-anak sudah dewasa. Walaupun begitu pernah aku menjadi relawan untuk event pernikahan missal 100 pasang gelandangan dan pengemis. Miris melihat masih banyak orang-orang yang tua bahkan sampai kakek-kakek dan nenek-nenek yang belum menikah secara hukum lantaran terkendala ekonomi, maupun birokrasi. Seorang panitia yang mengurusi surat-surat resmi untuk keperluan menikah pernah bercerita bahwa pejabat di pemerintahan pun masih meminta sedikit suap ketika panita tersebut sedang mengurus surat di kelurahan. Sudah minta suap, dari orang yang kurang mampu, sungguh keterlaluan. Di event itu memang aku tidak membantu secara materi, akan tetapi secara tenaga. Aku dan beberapa kawanku juga mengerahkan semua teman-teman putri seasramaku untuk berpartisipasi membantu dalam membuat mahar.

            Kegiatan di atas adalah apa yang pernah aku lakukan. Akan tetapi tentunya tidak berhenti sampai situ saja. Di dunia perkuliahan ini aku masih terus ingin memberantas kebodohan dan kemiskinan. Karena menurutku itu masih merupakan penyakit yang fundamental. Aku ingin mengikuti komunitas untuk mengajar. Baik anak jalanan ataupun yang ada di pedalaman. Atau bahkan bukan hanya mengikuti komunitas, akan tetapi membuat komunitas itu sendiri. Selain itu saat aku sudah bekerja dan bisa dikatakan sukses nanti aku juga ingin menyisihkan rupiah yang aku punya untuk membuat sekolah-sekolah di pedalaman juga memberikan beasiswa bagi siswa atau mahasiswa yang kurang mampu secara finansial. Aku sendiri pun mendapatkan beasiswa selama SMA dan kuliah, untuk itu aku ingin mengembalikan apa yang aku dapat kepada masyarakat.

            Selain itu sebagai pemuda Indonesia sudah seharusnya generasi ini menjadi generasi yang jauh lebih baik dari pendahulunya. Untuk itu aku ingin memanfaatkan semangat yang berkobar dari pemuda untuk membuat suatu perubahan yang lebih baik. Bisa dengan upaya langsung ataupun preventif. Upaya langsung contohnya dengan membuat suatu inovasi bagi kemajuan Indonesia, baik dalam segi teknologi, lingkungan maupun sosial. Sedangkan preventifnya adalah dengan mengkritisi kebijakan dari pemerintah yang sekiranya kurang pro pada masyarakat. Akan tetapi bukan hanya kritis tetapi juga solutif. Sebagai pemuda yang bergender wanita atau pemudi, aku tergerak untuk menyelamatkan pemudi-pemudi lain dari permasalahan Hamil Muda di Luar Nikah. Karena di daerah-daerah permasalahan tersebut masih sering terjadi. Dampaknya pun masa muda kawan-kawanku terenggut karena mereka harus mengurusi anak di usia yang masih belia. Di kampungku saja, teman-teman yang seusiaku sudah menggendong anak mereka masing-masing. Bukan lantaran perkawinan, akan tetapi karena hamil di luar nikah dan calon suaminya tidak bertanggungjawab. Itu tidak hanya terjadi di kampungku akan tetapi juga di kota-kota lainnya.

            Mimpi besarku adalah menjadi menteri dan pengusaha. Dengan itu aku ingin semakin melengkapi Indonesia. Jika menjadi pengusaha aku akan menyerap banyak tenaga kerja sehingga angka pengangguran bisa berkurang. Juga dengan mendirikan usaha di desa-desa sehingga desa mereka tidak tertinggal dan lebih maju lagi. Jika jadi menteri, aku ingin memberikan perubahan yang signifikan. Produk dalam negeri lebih digemari, industri di Indonesia berkembang, dan rakyat menjadi sejahtera dengan pemerintahan yang sehat. Aku ingin menjadi menteri yang anti korupsi, selain itu aku juga ingin mengembalikan beberapa persen dari gajik atau kalau bisa semuanya, kepada bangsa dan negara. Termasuk di dalamnya masyarakat. Seperti seorang presiden termiskin di dunia Jose Mujica, presiden Uruguay. Karena kebahagiaan sejati bukanlah dari pencapaian secara materi, akan tetapi apa yang telah kita lakukakan untuk membuat orang lain bahagia.

            Itulah langkah-langkah yang merupakan pelengkapan dari puzzle-puzzle di Indonesia. Indonesia sudah mencintaiku dengan segala potensi yang ada di negeri ini. Dan inilah cintaku untuk Indonesia dengan memberikan aksi-aksi kecilku untuk kemajuan Indonesia. Aku cinta Indonesia bukan karena kesempurnaanya, akan tetapi karena ketidaksempurnaan yang memberiku ruang untuk menghasilkan hingga kesempurnaan.


Rabu, 08 Januari 2014

(cont) Pendakian Gunung Gede

melanjutkan dari post sebelumnya tentang pendakian gunung gede...

          Di pos selanjutnya kami disuguhkan dengan keindahan air terjun panas. Wooow. Kami berjalan di tepi air terjun dan saya merasakan bagaimana uap panasnya menyapa muka saya yang kedinginan. Hangat sekali rasanya. Bahkan saya melihat beberapa pendaki membuat kopi dari air terjun panas tersebut. Kami berhenti sebentar di dekat air terjun untuk menikmati keindahan dan kehangatannya. Dari pos air terjun kami melanjutkan perjalan menuju pos Kandang Badak. Waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama, mungkin karena kami saking semangatnya untuk cepat-cepat sampai ke pos Kandang Badak. Dalam perjalannya pun kami ditawarkan dengan bonus-bonus(turunan) pada treknya.

            Kondisi di Pos Kandang Badak sudah sangat ramai dengan tenda dan banyaknya para pendaki. Kami memang tidak berencana untuk mendirikan tenda di sini. Sehingga kami hanya beristirahat sebentar di pos ini. Pos Kandang Badak adalah pos terakhir sebelum mencapai puncak. Kebanyakan para pendaki mendirikan tenda di sini, lalu pada dini harinya melakukan summit attack untuk menikmati sunrise di gunung gede. Tetapi rombongan kami berencana untuk mendirikan tenda di surya kencana, lembahan setelah puncak gunung Gede. Jadi kami melakukan double summit attack. Setelah naik ke puncak, turun ke surken, dan naik lagi ke puncak. Untuk itu kami mengumpulkan energi untuk bisa sampai ke puncak.

            Perjalanan menuju puncak merupakan perjalanan yang cukup seru. Medannya sudah bukan medan yang mudah, dengan batu-batu tangga pada pos sebelumnya. Akan tetapi sudah merupakan tanah, dengan batu-batuan yang tidak teratur dan lebih miring lagi. Saat kami berjalan menuju puncak kami berpapasan dengan beberapa pendaki yang barusan turun dari puncak. Sesekali saya bertanya kepada mereka.

            “Mas puncak berapa lama lagi?” Tanya saya

            “Sekitar setengah jam lagi, deket kok. Semangat.” Ujar pendaki lain

            Setengah jam berlalu, dan kami belum melihat adanya tanda-tanda puncak yaitu vegetasi yang semakin berkurang dan dataran yang semakin lapang.

            ‘Yaaah, diPHPin mas-mas tadi.’ Batin saya dalam hati.

            Beberapa kali kami beristirahat, selama perjalanan menuju puncak. Memang medannya luar biasa (bagi beginner). Tapi kami tidak beristirahat lama, hanya kurang dari 5 menit sekali istirahat. Karena puncak sudah dekat dan kami tidak sabar untuk segera sampai puncak, mengejar indahnya sunset.

            Beberapa kali kami berpapasan dengan pendaki-pendaki lain, dan tetap saja saya di PHPin dengen mereka mengatakan puncak 30 menit lagi. Padahal setelah 30 menit berikutnya berjalan, puncak masih belum juga kelihatan. Kak iim pun juga memPHPi kami, di teriak Puncak..Puncak.. eh sewaktu kami buru-buru berjalan, masih belum puncak juga. Harus sabar memang dan terus melangkahkan kaki.

            Namun terakhir kali saya bertanya kepada pendaki lain,
            “Bang puncak udah deket?” Tanya saya

            “Udah, tuh di depan udah puncak. 15 menit lagi mungkin.” Jawabnya

            “Beneran bang? Dari tadi diPHPin terus bang kalo puncak udah deket.”ujar saya

            “Iya bener. Mau dianterin? Tuh puncaknya dikit lagi.” Katanya

            “nggak bang. Makasih ya bang.” Jawab saya

            Semangat saya langsung membara lagi, puncak… puncak.. puncak.. tidak sampai 15 menit akhirnya kami melihat puncak. Sudah ada beberapa pendaki yang sedang istirahat dan menikmati hangatnya pop mie dan kopi.

            “Bang ini puncak bang?” Tanya saya

            “Iya ini udah puncak neng.” Jawabnya

            “Yeeee.. puncak.” Teriak saya, yang disusul dengan diketawain abang-abang tersebut. Memang itulah euphoria saat saya sampai di puncak. LEGAA sekali rasanya bisa menapakkan kaki di puncak. Akan tetapi puncak yang sebenarnya yang ada tulisannya puncak gede masih sekitar 500 meter lagi dari tempat kami beristirahat, dan sudah terlihat. Tak apalah, beristirahat dahulu di sini. Sembari menikmati pop mie dan keindahan sunset gunung gede. Memang sunset tidak begitu kelihatan karena tertutup oleh awan. Tapi sensasi berada di puncak gunung sudah sangat cukup menghibur saya. Saya tidak bisa menahan senyum melihat keindahan yang disuguhkan di sini.
Puncak Gede -dok.pribadi

puncak gede -dok.pribadi

Makan pop mie dulu -dok pribadi


            Setelah puas melihat sunset kami melanjutkan ke Puncak Gede yang sebenarnya. Dari puncak gede kami langsung turun menuju ke alun-alun surya kencana, agar tidak terlalu malam. Saat itu kami turun ke surken pada pukul 19:00. Jalanannya sangat berbatu dan curam. Saya selalu berpegangan pada ranting-ranting pohon yang bisa saya pegang untuk menjaga saya agar tidak jatuh. Tapi alhasil saya terjatuh pula beberapa kali, hingga kaki saya terkilir. Perjalanan menuju surya kencana memakan waktu sekitar dua jam. Hal tersebut dikarenakan medan yang cukup curam dan juga gelap. Jadi kami harus berjalan dengan hati-hati.

            Sesampainya di surken kami langsung mendirikan tenda dan memasak makan malam. Dua tenda kami dirikan. Di malam yang sangat dingin dengan hembusan angin yang kencang kami memasak spaghetti dan juga kopi dan coklat panas. Hmm nikmatnya. Setelah kenyang dengan makanan kami melanjutkan evaluasi di tenda. Hangat sekali rasanya di tenda, sambil membeber sleeping bag dan duduk saling berdekatan. Evaluasi dan forum berakhir pada pukul 23:30. Kami pun menuju tenda kami untuk tidur. Aku tidur setenda bersama amal, yosep, dan kak hariyadi. Sedangkan kak iim, kak anas, kak hasan, dan satria ada di tenda sebelah. Untuk menjaga kehangatan tubuh aku tidur dengan double jaket, klupuk, sarung tangan, kaos kaki tebal, dan sleeping bag super hangat. Hmm hangatnya.

            Esoknya kami bangun pukul 07.00 dan aku sunguh terkejut dengan pemandangan di surya kencana. Sangat sangat sangat indah. Edelweis ada di mana-mana. Dengan rumput-rumput tinggi ala film-film romantic. Sungguh indah. Di pagi yang sangat indah tersebut kami pun memasak dan mulai packing. Menu masakan pagi ini adalah nasi goreng dan ayam suwir. Sekali lagi yang masak adalah cowok. Enak juga masakan mereka. Usai makan kami kembali lagi ke puncak gunung gede dan melanjutkan perjalanan turun. Perjalanan turun sungguh cepat, sekitar 3,5-4 jam saja, jauh disbanding perjalanan naik yang memakan waktu sekitar 8 jam. Kami pun sampai lagi di green ranger pukul 19:00 dan kembali ke Depok, ke sekret KAPA FTUI tercinta.


            Banyak sekali pelajaran yang saya peroleh dari pendakian Gunung Gede, kekeluargaan, kepercayaan terhadap diri dan tim, semangat pantang menyerah, mau mengalahkan ego diri sendiri dan banyak hal lainnya. Sungguh indah dan memorable. J
Terimakasih Gunung Gede, terimakasih keluarga KAPA FTUI.
J

Pendakian Gunung Gede

It's not the mountain that we conquer but ourselves

            Bergabung bersama klub pecinta alam merupakan pengalaman baru bagi saya. Itu adalah mimpi saya sewaktu kecil yang barusan terwujud. Bersama KAPA FTUI kegiatan Penarikan Minat saya ikuti dengan mendaki Gunung Gede, 2985mdpl. Saya bersama tujuh orang teman lainnya merencanakan perjalanan tanggal 22 hingga 24 november 2013.

            Gunung Gede terletak di Jawa Barat, beberapa kilometer jauhnya setelah melewati jalanan puncak, Bogor.  Persiapan mendaki kami, manajemen perjalanan, kami lakukan tiga hari sebelum berangkat. Kali ini saya mendapat bagian menjadi pj sekbend. Usai semua persiapan kami lakukan, mulai dari peralatan, logistik, jalur kritis, scenario dan lainnya kami bersiap berangkat menuju cibodas. Sebelumnya kami melakukan pelepasan di parkiran dekat sekretariat Kamuka Parwata FT UI. Kami dilepas oleh teman-teman KAPA lainnya sambil meneriakkan 1,2,3 KAPA.

            Sekitar pukul 20:15 kami berangkat dari fakultas teknik UI menuju Jl. Margonda Raya. Lalu kami menaiki angkutan umum 112 menuju terminal kampung rambutan. Carrier-carrier kami memenuhi angkot tersebut. Kaki pun harus rela terhimpit carrier selama sekitar 30 menit perjalanan. Sesampainya di terminal kami menaiki bus jurusan cibodas. Perjalanan ke cibodas memakan waktu cukup lama, mungkin sekitar tiga jam perjalanan. Sewaktu di bus aku dan amal bercengkrama dengan pecinta alam lain yang berasal dari daerah sekitaran Jawa Tengah, namun sedang bekerja di Jakarta. Kami pun berbahasa jawa ria. Setelah tiba di pertigaan cibodas, kami berdelapan turun dan mencarter angkot untuk menuju ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Perjalan dari UI hingga cibodas mengeluarkan biaya sebesar 32.000 rupiah.

            Kami sampai di Green Ranger, Gunung Gede sekitar pukul 01.30. Lalu kami melakukan registrasi dan membayar biaya masuk 30.000 rupiah. Green Ranger merupakan start point bagi para pendaki sebelum melakukan pendakian. Di Green Ranger saya membaca berbagai hiasan dinding yang mengenang Soe Hok Gie. Rombongan kami baru boleh memulai perjalanan mendaki gunung gede pukul 03.00.

            Tepat pukul jam tiga pagi kami berpamitan dengan para green ranger dan memulai pendakian kami. Tetapi sebelumnya kami melapor dahulu di pos simaksi. Pendakian pun dimulai. Hawa dingin perlahan-lahan merasuki kulit. Jaket, sarung tangan, kupluk, kaos kaki tebal merupakan penghangat bagi badan saya. Inilah langkah-langkah pertama yang saya tapakkan di gunung. Mendaki Gunung Gede adalah pendakian gunung perdana saya.Kami bersama rombongan mendaki melalui jalur cibodas. Oleh karena jalur putri sedang ditutup. Jalur cibodas merupakan jalur yang lebih mudah akan tetapi treknya lebih panjang. Di jalur cibodas jalanannya sudah diberi batu-batu tangga, sehingga memudahkan pendaki. Jalannya juga cukup lebar.

Setelah 45 menit berjalan kami tiba di pos telaga biru. Akan tetapi kami tidak berencana beristirahat di sana. Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di pos panancangan pada pukul 04.30 pagi hari. Kami pun lantas beristirahat dan melakukan evaluasi yang dipimpin oleh ketua rombongan, karom, Amal.

            Jam 04.30 suasana masih gelap, para pendaki lain masih tidur di tenda-tenda mereka. Lama-kelamaan fajar mulai menyingsing. Seusai evaluasi kami pun memulai kegiatan masak-memasak. Masakan perdana ini, dimasak oleh Kak Iim dan Kak Hasan. Walaupun ada dua perempuan, aku dan amal kami hanya membantu-bantu saja. Mereka, para cowok , semangat sekali memasaknya. Pagi ini menu sarapan kami adalah telur dadar dan oseng kangkung. Nikmat sekali, apalagi dimakan sewaktu lapar. Setelah kenyang dan bersiap-siap kami melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum melanjutkan pendakian kami.

            Pendakian pun kami lanjutkan pukul 09:00. Awalnya kami merencakan untuk berjalan 60 menit lalu beristirahat, akan tetapi realita tidak sejalan. Kami beristirahat setiap 20 hingga 30 menit. Wajar pula karena beberapa di antara kami masih newbie dalam mendaki, termasuk saya. Selain itu seminggu sebelum pendakian kami juga tidak melakukan latihan fisik, seperti jogging dan pushup sehingga badan menjadi lebih cepat lelah. Setelah sekian lama berjalan kami sampai di pos selanjutnya, Pos Kandang Batu. Usai beristirahat sebentar kami melanjutkan lagi perjalanan. Di perjalanan perdana saya, kaki saya beberapa kali mengalami kram. Saya juga berada di posisi terakhir sebelum sweeper. Untung kak hasan dengan sabar menunggu saya yang jalannya lama. Tidak tahu kenapa paha saya terasa panas, sehingga saya harus duduk sebentar. Mungkin hal itu yang menyebabkan kaki saya kram. Tetapi karena terlalu sering beristirahat (maklum masih newbie), kami diingatkan kak iim untuk memaksa diri melewati batas.

Perjalanan mendaki Gunung Gede -dok.pribadi

            “Walaupun capek, tebas terus, jalan terus. Sampe capeknya bener-bener maksimal. Jangan manja.” Ujar kak iim

            Dalam hati pun saya mengucapkan ‘tebas, tebas, tebas’. Alhasil durasi berjalan saya hingga istirahat menjadi lebih lama. Itu salah satu pelajaran yang saya dapatkan. Berjuang super maksimal dan jangan membatasi diri. Lama-kelamaan pun kaki saya sudah tidak kram lagi. Mungkin karena sudah mulai terbiasa berjalan jauh dengan medan berbatu. (cont)